Kamis, 25 Oktober 2012

Hikmah dan Keutamaan Qurban

1. Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” [HR. Ahmad dan ibn Majah] * 2. Berkurban adalah ciri keislaman seseorang Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah] 3. Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib] 4. Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa “Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” [HR. Muslim] 5. Berkurban adalah ibadah yang paling utama “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Qur’an Surat Al Kautsar : 2] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.” “Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [Qur’an Surat Al An’am : 162] Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat…” 6. Berkurban adalah sebagian dari syiar agama Islam “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [Qur’an Surat Al Hajj : 34] 7. Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Qur’an Surat Ash Shaffat : 102 - 107] fimadani.com/

Selasa, 23 Oktober 2012

Hadits Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”. Syarat-Syaratnya : Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini : 1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak. 2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad. 3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta. 4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir. Apakah untuk Mutawatir Disyaratkan Jumlah Tertentu ?? 1. Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. 2. Diantara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut. 1. Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina. 2. Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang berdasarkan pada masalah li’an. 3. Ada yang berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12). Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits. Pembagian Hadits Mutawatir Hadits mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdhy dan Mutawatir Ma’nawi . 1. Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknannya mutawatir. Misalnya hadits (yang artinya) : ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga. 2. Mutawatir Ma’nawy adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Keberadaannya Sebagian di antara mereka mengira bahwa hadits mutawatir tidak ada wujudnya sama sekali. Yang benar (insyaAllah), bahwa hadits mutawatir jumlahnya cukup banyak di antara hadits-hadits yang ada. Akan tetapi bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit. Misalnya : Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : ”Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku…..” dan hadits ”Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf”, hadits ”Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga”, hadits ”Setiap yang memabukkan adalah haram”, hadits ”Tentang melihat Allah di akhirat”, dan hadits ”tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid”. Mereka yang mengatakan bahwa hadits mutawatir keberadaannya sedikit, seakan yang dimaksud mereka adalah mutawatir lafdhy, sebaliknya…..mutawatir ma’nawy banyak jumlahnya. Dengan demikian, maka perbedaan hanyalah bersifat lafdhy saja. Hukum Hadits Mutawatir Hadits mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya . Buku-Buku Tentang Hadits Mutawatir sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku tersendiri. Diantara buku-buku tersebut adalah : 1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fil-Akhbaar Al-Mutawattirah, karya As-Suyuthi, berurutan berdasarkan bab. 2. Qathful Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab di atas. 3. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah fil-Ahaadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqy. 4. Nadhmul Mutanatsirah minal-Hadiits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kittani. Nudhatun-Nadhar Syarh Nukhbatul-Fikr, Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani halaman 24; Taisir Mustahalah Hadits, Dr. Mahmud Ath-Thahhan halaman 19, Tadribur-Rawi halaman 533

Hukum Berkurban Satu Ekor Kambing Untuk Sekeluarga

Assalamu’alaikum ustadz. Apa hukumnya berkurban 1 ekor kambing dengan niat bukan perorangan tapi untuk 1 keluarga ? Syukron, jazakumullah atas jawabannya. Jawaban: Wa’alaikumussalam Seekor kambing cukup untuk kurban satu keluarga, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dari Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِه ”Pada masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR. Tirmidzi, ia menilainya shahih, Minhaajul Muslim, Hal. 264 dan 266). Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan kurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu. Misalnya, kurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika rasulullah hendak menyembelih kambing kurban, sebelum menyembelih rasulullah mengatakan, اللّهُمّ هَذَا عَنِّي، وَعَمَّنْ لَـمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي “Ya Allah ini –kurban– dariku dan dari umatku yang tidak berkurban.” (HR. Abu Daud, no.2810 dan Al-Hakim 4:229 dan dishahihkan Syekh Al-Albani dalam Al Irwa’ 4:349). Berdasarkan hadits ini, Syekh Ali bin Hasan Al-Halaby mengatakan, “Kaum muslimin yang tidak mampu berkurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berkurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Ahkamul Idain, Hal. 79) Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…” adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan kurban unta hanya boleh dari maksimal 10 orang. Allahu a’lam. Batasan “anggota keluarga” yang tercakup dalam pahala berkurban Siapa saja anggota keluarga yang tercakup dalam kegiatan berkurban seekor kambing? Ulama berselisih pendapat tentang batasan “anggota keluarga” yang mencukupi satu hewan kqurban. Pertama, masih dianggap anggota keluarga, jika terpenuhi 3 hal: tinggal bersama, ada hubungan kekerabatan, dan sohibul kurban menanggung nafkah semuanya. Ini adalah pendapat Madzhab Maliki. Sebagaimana yang ditegaskan dalam At-Taj wa Iklil –salah satu kitab Madzhab Maliki- (4:364). Kedua, semua orang yang berhak mendapatkan nafkah sohibul kurban. Ini adalah pendapat ulama mutaakhir (kontemporer) di Madzhab Syafi’i. Ketiga, semua orang yang tinggal serumah dengan sohibul kurban, meskipun bukan kerabatnya. Ini adalah pendapat beberapa ulama syafi’iyah, seperti As-Syarbini, Ar-Ramli, dan At-Thablawi. Imam ar-Ramli ditanya: Apakah bisa dilaksanakan ibadah kurban untuk sekelompok orang yang tinggal dalam satu rumah, meskipun tidak ada hubungan kekerabatan di antara mereka? Ia menjawab, “Ya bisa dilaksanakan.” (Fatawa Aar-Ramli, 4:67) Sementara Al-Haitami mengomentari fatwa Ar-Ramli, dengan mengatakan, “Mungkin maksudnya adalah kerabatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Bisa juga yang dimaksud dengan ahlul bait (keluarga) di sini adalah semua orang yang mendapatkan nafkah dari satu orang, meskipun ada orang yang aslinya tidak wajib dinafkahi. Sementara perkataan sahabat Abu Ayub: “Seorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya” memungkinkan untuk dipahami dengan dua makna tersebut. Bisa juga dipahami sebagaimana zahir hadits, yaitu setiap orang yang tinggal dalam satu rumah, interaksi mereka jadi satu, meskipun tidak ada hubungan kekerabatan. Ini merupakan pendapat sebagian ulama. Akan tetapi terlalu jauh (dari kebenaran). (Tuhfatul Muhtaj, 9:340). Kesimpulannya, sebatas tinggal dalam satu rumah, tidak bisa dikatakan sebagai ahli bait (keluarga). Batasan yang mungkin lebih tepat adalah batasan yang diberikan ulama Madzhab Maliki. Sekelompok orang bisa tercakup ahlul bait (keluarga) kurban, jika terpenuhi tiga syarat: tinggal bersama, ada hubungan kekerabatan, dan tanggungan nafkah mereka sama dari kepala keluarga. Allahu a’lam. Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/160395/,الأضحية http://konsultasisyariah.com/kurban-satu-ekor-kambing-untuk-sekeluarga

QURBAN

Menyembelih qurban adalah sesuatu yang disyari’atkan berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ (konsensus kaum muslimin).[1] Namun apakah menyembelih tersebut wajib ataukah sunnah? Di sini para ulama memiliki beda pendapat. Pendapat pertama: Diwajibkan bagi orang yang mampu Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya, Rabi’ah, Al Laits bin Sa’ad, Al Awza’i, Ats Tsauri, dan Imam Malik dalam salah satu pendapatnya. Di antara dalil mereka adalah firman Allah Ta’ala, فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ “Dirikanlah shalat dan berkurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Hadits ini menggunakan kata perintah dan asal perintah adalah wajib. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diwajibkan hal ini, maka begitu pula dengan umatnya.[2] Yang menunjukkan wajibnya pula adalah hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا “Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan) Pendapat kedua: Sunnah dan Tidak Wajib Mayoritas ulama berpendapat bahwa menyembelih qurban adalah sunnah mu’akkad. Pendapat ini dianut oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali, pendapat yang paling kuat dari Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Abu Yusuf (murid Abu Hanifah). Pendapat ini juga adalah pendapat Abu Bakr, ‘Umar bin Khottob, Bilal, Abu Mas’ud Al Badriy, Suwaid bin Ghafalah, Sa’id bin Al Musayyab, ‘Atho’, ‘Alqomah, Al Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Di antara dalil mayoritas ulama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ “Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.”[3] Yang dimaksud di sini adalah dilarang memotong rambut dan kuku shohibul qurban itu sendiri. Hadits ini mengatakan, “dan salah seorang dari kalian ingin”, hal ini dikaitkan dengan kemauan. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukuplah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya”, tanpa disertai adanya kemauan. Begitu pula alasan tidak wajibnya karena Abu Bakar dan ‘Umar tidak menyembelih selama setahun atau dua tahun karena khawatir jika dianggap wajib[4]. Mereka melakukan semacam ini karena mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mewajibkannya. Ditambah lagi tidak ada satu pun sahabat yang menyelisihi pendapat mereka. [5] Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat kedua (pendapat mayoritas ulama) yang menyatakan menyembelih qurban sunnah dan tidak wajib. Di antara alasannya adalah karena pendapat ini didukung oleh perbuatan Abu Bakr dan Umar yang pernah tidak berqurban. Seandainya tidak ada dalil dari hadits Nabi yang menguatkan salah satu pendapat di atas, maka cukup perbuatan mereka berdua sebagai hujjah yang kuat bahwa qurban tidaklah wajib namun sunnah (dianjurkan). فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا “Jika kalian mengikuti Abu Bakr dan Umar, pasti kalian akan mendapatkan petunjuk.”[6] Namun sudah sepantasnya seorang yang telah berkemampuan untuk menunaikan ibadah qurban ini agar ia terbebas dari tanggung jawab dan perselisihan yang ada. Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “Janganlah meninggalkan ibadah qurban jika seseorang mampu untuk menunaikannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan, “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu dan ambil perkara yang tidak meragukanmu.” Selayaknya bagi mereka yang mampu agar tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan. Wallahu a'lam.”[7] Syarat Diwajibkan atau Disunnahkannya Qurban Jika kita memilih pendapat wajib atau sunnah, ada beberapa syarat yang bisa jadi alasan seseorang diwajibkan atau disunnahkan untuk berqurban. Berikut syarat-syarat tersebut: 1. Muslim. Orang kafir tidak diwajibkan atau disunnahkan untuk berqurban karena qurban adalah bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). Sedangkan orang kafir bukanlah ahlul qurbah. 2. Orang yang bermukim. Musafir tidaklah wajib untuk berqurban. Ini bagi yang menyatakan bahwa berqurban itu wajib. Namun bagi yang tidak mengatakan wajib, maka tidak berlaku syarat ini. Karena kalau dinyatakan wajib, maka itu jadi beban. Jika dikatakan sunnah, tidaklah demikian. 3. Kaya (berkecukupan). Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa qurban itu disunnahkan bagi yang mampu, yaitu yang memiliki harta untuk berqurban, lebih dari kebutuhannya di hari Idul Adha, malamnya dan selama tiga hari tasyriq juga malam-malamnya. 4. Telah baligh (dewasa) dan berakal.[8] Demikian syarat diwajibkan atau disunnahkannya berqurban. Jika kita memiliki kelebihan harta dan sedang mukim, hendaklah kita berqurban karena qurban adalah sebaik-baik qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan moga harta kita pun semakin berkah. Ahsan-nya (baiknya) pembaca sekalian membaca artikel tentang hikmah qurban di sini. rumaysho.com/hukum-islam/.../3555-hukum-berqurban.ht.

Risalah Aqiqah

Hukum Melaksanakan Aqiqah Aqiqah/Akikah dalam istilah agama adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian ulama ia disebut dengan nasikah atau dzabihah (sembelihan). Hukum aqiqah itu sendiri menurut kalangan Syafii dan Hambali adalah sunnah muakkadah. Dasar yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi SAW. Yang berbunyi, “Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya)”. (HR al-Tirmidzi, Hasan Shahih) Makna Aqiqah Kata Aqiqah berasal dari kata Al-Aqqu yang berarti memotong (Al-Qoth’u). Al-Ashmu’i berpendapat: Aqiqah asalnya adalah rambut di kepala anak yang baru lahir. Kambing yang dipotong disebut aqiqah karena rambut anak tersebut dipotong ketika kambing itu disembelih. Dalam pelaksanaan aqiqah disunahkan untuk memotong dua ekor kambing yang seimbang untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk anak perempuan. Dari Ummi Kurz Al-Kabiyyah Ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang sama, sedangkan bagi anak perempuan satu ekor kambing”. (HR. Tirmidzy dan Ahmad) Aqiqah Yang Sesuai Dengan Sunnah Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadits Samirah di mana Nabi SAW bersabda, “Seorang anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan diberi nama”. (HR. al-Tirmidzi). Namun demikian, apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke-21 atau kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : Pada dzohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah SWT : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.Al Baqarah:185) Daging Aqiqah Lebih Baik Mentah Atau Dimasak Dianjurkan agar dagingnya diberikan dalam kondisi sudah dimasak. Hadits Aisyah ra., “Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh”. (HR al-Bayhaqi) Daging aqiqah diberikan kepada tetangga dan fakir miskin juga bisa diberikan kepada orang non-muslim. Apalagi jika hal itu dimaksudkan untuk menarik simpatinya dan dalam rangka dakwah. Dalilnya adalah firman Allah, “Mereka memberi makan orang miskin, anak yatim, dan tawanan, dengan perasaan senang”. (QS. Al-Insan : 8). Menurut Ibn Qudâmah, tawanan pada saat itu adalah orang-orang kafir. Namun demikian, keluarga juga boleh memakan. Siapakah yang layak menerima daging sembelihan aqiqah ? Mereka yang paling layak menerima sedekah adalah orang fakir dan miskin dari kalangan umat Islam, begitu juga dengan aqiqah, mereka yang paling layak menerima adalah orang miskin dikalangan umat Islam. Walaubagaimanapun berdasarkan beberapa buah hadis dan amalan Rasulullah dan sahabat kita disunatkan juga memakan sebahagian daripada daging tersebut, bersedekah sebahagian dan menghadiahkan sebahagian lagi. Apa yang membezakan aqiqah dan korban ialah kita disunatkan memberikan sebahagian kaki kambing aqiqah tersebut kepada bidan yang menyambut kelahiran tersebut. Wallahu’alam Jumlah Hewan Aqiqah Bayi laki-laki disunnahkan untuk disembelihkan dua ekor kambing dan bayi wanita cukup satu ekor kambing saja. Dari Ammi Karz Al-Ka’biyah berkata bahwa saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Untuk bayi laki-laki disembelihkan dua ekor kambing yang setara dan buat bayi wanita satu ekor kambing”. Namun bila tidak memungkinkan, maka boleh saja satu ekor untuk bayi laki-laki, karena Rasulullah SAW pun hanya menyembelih satu ekor untuk cucunya Hasan dan Husein. “Adalah Rasulullah SAW menyembelih hewan aqiqah untuk Hasan dan Husein masing-masing satu ekor kambing ?”. (HR Ashabus Sunan) Aqiqah haruskah hewan jantan? Baik dalam aqiqah maupun udhiyah (kurban) tidak ada persyaratan bahwa hewannya harus jantan atau betina. Keduanya bisa dijadikan sebagai hewan aqiqah atau kurban. Akan tetapi yang lebih diutamakan adalah hewan jantan agar kelangsungan reproduksi hewan tersebut tetap terjaga. Hukum Aqiqah Dilaksanakan Dilain Negara/Kota Tidak ada batasan yang mengharuskan agar pelaksanaan aqiqah dilakukan di negeri/kota/kampung tempat kelahiran anak. Karena itu, Anda bisa melakukan di mana saja sesuai dengan kemaslahatan yang ada. Hukum memakan daging aqiqah Daging selain disedekahkan juga bisa dimakan oleh keluarga yang melakukan aqiqah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra., “Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh”. (HR al-Bayhaqi). Wallahu a’lam bish-shawab. Hukum Aqiqah Setelah Dewasa/Berkeluarga Pada dasarnya aqiqah disyariatkan untuk dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran. Jika tidak bisa, maka pada hari keempat belas. Dan jika tidak bisa pula, maka pada hari kedua puluh satu. Selain itu, pelaksanaan aqiqah menjadi beban ayah. Namun demikian, jika ternyata ketika kecil ia belum diaqiqahi, ia bisa melakukan aqiqah sendiri di saat dewasa. Satu ketika al-Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, “ada orang yang belum diaqiqahi apakah ketika besar ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri?” Imam Ahmad menjawab, “Menurutku, jika ia belum diaqiqahi ketika kecil, maka lebih baik melakukannya sendiri saat dewasa. Aku tidak menganggapnya makruh”. Para pengikut Imam Syafi’i juga berpendapat demikian. Menurut mereka, anak-anak yang sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, dianjurkan baginya untuk melakukan aqiqah sendiri. Hewan Untuk Aqiqah Masalah kambing yang layak untuk dijadian sembelihan aqiqah adalah kambing yang sehat, baik, tidak ada cacatnya. Semakin besar dan gemuk tentu semakin baik. Sedangkan masalah harus menyentuhkan anak kepada kambing yang akan disembelih untuk aqiqahnya, jelas tidak ada dasarnya. Barangkali hanya sebuah kebiasaan saja. Pemberian Nama Anak Tidak diragukan lagi bahwa ada kaitan antara arti sebuah nama dengan yang diberi nama. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya sejumlah nash syari yang menyatakan hal tersebut. Dari Abu Hurairoh Ra, Nabi SAW bersabda: “Kemudian Aslam semoga Allah menyelamatkannya dan Ghifar semoga Allah mengampuninya”. (HR. Bukhori 3323, 3324 dan Muslim 617) Ibnu Al-Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang memperhatikan sunah, ia akan mendapatkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah-olah makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya”. Dan jika anda ingin mengetahui pengaruh nama-nama terhadap yang diberi nama (Al-musamma) maka perhatikanlah hadits di bawah ini: Dari Said bin Musayyib dari bapaknya dari kakeknya Ra, ia berkata: Aku datang kepada Nabi SAW, beliau pun bertanya: “Siapa namamu?” Aku jawab: “Hazin” Nabi berkata: “Namamu Sahl” Hazn berkata: “Aku tidak akan merobah nama pemberian bapakku” Ibnu Al-Musayyib berkata: “Orang tersebut senantiasa bersikap keras terhadap kami setelahnya”. (HR. Bukhori) (At-Thiflu Wa Ahkamuhu/Ahmad Al-’Isawiy hal 65) Oleh karena itu, pemberian nama yang baik untuk anak-anak menjadi salah satu kewajiban orang tua. Di antara nama-nama yang baik yang layak diberikan adalah nama nabi penghulu jaman yaitu Muhammad. Sebagaimana sabda beliau : Dari Jabir Ra dari Nabi SAW beliau bersabda: “Namailah dengan namaku dan janganlah engkau menggunakan kunyahku”. (HR. Bukhori 2014 dan Muslim 2133) Mencukur Rambut Mencukur rambut adalah anjuran Nabi yang sangat baik untuk dilaksanakan ketika anak yang baru lahir pada hari ketujuh. Dalam hadits Samirah disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Setiap anak terikat dengan aqiqahnya. Pada hari ketujuh disembelihkan hewan untuknya, diberi nama, dan dicukur”. (HR. at-Tirmidzi). Dalam kitab al-Muwaththâ` Imam Malik meriwayatkan bahwa Fatimah menimbang berat rambut Hasan dan Husein lalu beliau menyedekahkan perak seberat rambut tersebut. Tidak ada ketentuan apakah harus digundul atau tidak. Tetapi yang jelas pencukuran tersebut harus dilakukan dengan rata; tidak boleh hanya mencukur sebagian kepala dan sebagian yang lain dibiarkan. Tentu saja semakin banyak rambut yang dicukur dan ditimbang semakin -insya Allah- semakin besar pula sedekahnya. Doa Menyembelih Hewan Aqiqah Bismillah, Allahumma taqobbal min muhammadin, wa aali muhammadin, wa min ummati muhammadin. Artinya : Dengan nama Allah, ya Allah terimalah (kurban) dari Muhammad dan keluarga Muhammad serta dari ummat Muhammad.” (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud) Doa bayi baru dilahirkan Innii u’iidzuka bikalimaatillaahit taammati min kulli syaythaanin wa haammatin wamin kulli ‘aynin laammatin Artinya : Aku berlindung untuk anak ini dengan kalimat Allah Yang Sempurna dari segala gangguan syaitan dan gangguan binatang serta gangguan sorotan mata yang dapat membawa akibat buruk bagi apa yang dilihatnya. (HR. Bukhari) www.rumahaqiqah.org/risalah-aqiqah/

Senin, 22 Oktober 2012

HADIS

1. Pengertian Hadis Hadits sering juga disebut sunnah, dua istilah ini secara umum mempunyai maksud yang sama dan digunakan di dalam pembahasan agama sehari-hari. Sunnah menurut etimologi adalah perjalanan, pekerjaan atau cara. Sedangkan menurut terminologi, sunnah berarti segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad Saw, selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir yang dijadikan sebagai dalil hukum syariat. Dalam Al-Qur’an kata sunnah disebut sebanyak 16 kali yang tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti kebiasaan yang berlaku dan jalan yang diikuti. Adapun kata hadits berasal dari bahasa Arab “ Al-Hadits” artinya baru atau berita. Sedangkan menurut istilah adalah segala tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan (taqrir). Berdasarkan definisi diatas, hadits dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Hadits qauliyah, yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan Nabi saw, yang didengar oleh sahabat-sahabatnya kemudian disampaikan kepada orang lain. Contohnya,’’ Telah mendegar Umar bin Khatab r.a. Rasulullah saw bersabda.” Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu tergantung kepada niat, dan setiap orang hanya memperoleh apa yang diniatkannya.”(HR Bukhari). b. Hadits fi’liyah, yaitu segala bentuk perbuatan Nabi saw, yang dilihat oleh sahabat-sahabatnya kemudian disampaikan kepada orang lain. Contohnya,” Muslim meriwayatkan dari Ustman r.a. ia berkata:”Aku pernah melihat Rsulullah saw berwudhu seeprti wudhuku ini, lalu beliau bersabda:”Barang siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni, sementara shalat(sunnah)nya dan perjalanannya menuju masjid menjadi penyempurnaan bagi dihapuskannya dosa-dosanya.” c. Hadits taqririyah, yaitu ketetapan Nabi, yaitu diamnya Nabi atas perkataan atau perbuatan sahabat; tidak ditegur atau dilarangnya. Contohnya saat Nabi melihat seorang sahabat memakan daging dhab (sejenis biawak) di hadapannya. Nabi saw, tidak member komentar tentang apa yang dilakukan sahabatnya itu. Hal ini menunjukan bahwa Nabi saw, membolehkan (hukumnya tidak haram) memakan daging sejenis biawak itu. 2. Kedudukan Hadits Kedudukan hadits sebagai sumber hukum islam adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, sehingga dalam memutuskan persoalan harus berdasarkan wahyu Allah sebagai petunjuk. Allah Swt. berfirman, yang artinya:” Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”(Q.S Al-Maidah[5]:48). Sedangkan dalam hadits Nabi Muhammad saw, yang artinya” Sesungguhnya telah aku tinggalkan untukmu dua perkara, dimana kamu tidak akan sesat selama-lamanya selagi kamu berpegang teguh dengan keduanya yakni kitaballah dan sunnah rasul.”(H.R Malik) 3. Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an diantaranya: 1. Memperkuat hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Contohnya salat, zakat, haji, puasa, larangan syirik kepada Allah Swt, meyakiti kedua orang tua, dan sebagainya. Semua hukum tersebut ditegaskan oleh Al-Qur’an selain itu juga dikokohkan hukum-hukum tersebut oleh hadis. Contoh larangan syirik yang sudah di jelaskan di dalam Al-Qur’an tapi diperkuat lagi oleh hadis. Allah Swt. berfirman: They do blaspheme who say: "Allah is Christ the son of Mary." But said Christ: "O Children of Israel! worship Allah, my Lord and your Lord." Whoever joins other gods with Allah,- Allah will forbid him the garden, and the Fire will be his abode. There will for the wrong-doers be no one to help. Artinya:” Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu" Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu seorang penolong pun.”(Q.S Al-Maidah[5]:72) Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya:” Siapa yang meninggal dunia tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun; masuklah ia ke dalam surga. Dan siapa yang meninggalkan dunia menyekutukan Allah dengan sesuatu (dalam keadaan syirik), maka masuklah dia ke dalam neraka.”(H.R Muslim) 2. Sebagai penjelasan atau perincian ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum.contohnya merinci waktu salat. Karean Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa: When ye pass (Congregational) prayers, celebrate Allah's praises, standing, sitting down, or lying down on your sides; but when ye are free from danger, set up Regular Prayers: For such prayers are enjoined on believers at stated times. Artinya:” Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(Q.S An-Nisa[4]:103) Kapan waktu pelaksanaanya. Maka hal ini dijelaskan dalam hadis. Seperti waktu Zhuhur adalah apabila matahari telah condong dan baying-bayang orang sudah sama dengan panjangnya sementara waktu Ashar belum tiba. Waktu Ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu Maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu salat Isya adalah sampai pertengahan malam dan waktu salat Subuh adalah sejak terbitnya fajar sampai sebelum matahari terbit. Maka jelaslah bahwa sunah itu berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an, sehingga dapat menghilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an. 3. Menetapkan hukum-hukum yang tidak terdapat di dalam Al-qur’an, seperti haram kawin dengan mengumpulkan wanita dan saudara ibunya, haram memakan binatang yang bertaring dan berakar, haram bagi kaum laki-laki memakai perhiasan emas dan kain sutera. Contoh hadis yang melarang kaum laki-laki memakai perhiasan emas dan kain sutera. Dari Abu Musa Al Asy’ary ra bahwasannya Nabi Muhammad saw bersabda, “Memakai kain sutera dan emas itu haram bagi umatku yang laki-laki; dan halal bagi umatku yang perempuan.” (HR. At Turmudzy) Dari Umar bin Khattab ra berkata, Nabi Muhammad saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian memakai kain sutera, karena sesungguhnya orang yang telah memakainya di dunia maka nanti di akhirat tidak akan memakainya lagi.” (HR. Bukhari Muslim) Dari Anas ra berkata, Nabi Muhammad saw bersabda: “Barangsiapa yang memakai kain sutera di dunia maka ia tidak akan memakainya nanti di akhirat.” (HR. Bukhari Muslim) 4. Menerapkan maksud dan tujuan ayat 5. Menarapkan akhlak Nabi saw, untuk diteladani oleh umat islam. Tahukah Anda! Istilah-istilah dalam hadits yang perlu diketahui adalah sebagai berikut: 1. Matan, yaitu isi atau perkataan hadits yang disampaikan. 2. Rawi (perawi), yaitu orang yang membawa (meriwayatkan) hadits atau membukukannya. Perawi pertama adalah para sahabat, kemudian para tabi’in sampai kepada penyusun hadits, seperti Bukhari, Muslim, dan sebagainya. 3. Sanad, yaitu orang yang menjadi sandaran dalam meriwayatkan hadits. Dengan kata lain, sanad adalah orang-orang yang menjadi perantara dai Nabi Muhammad saw ke perawi.

KEUTAMAAN MEMBACA AL-QUR'AN

Tahukah Anda Keutamaan Membaca Al-Qur’an? Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur’an bertemu pembacanya pada hari kiamat saat kuburannya dikuak, dalam rupa seorang laki-laki yang pucat. Dia (Al-Qur’a) bertanya, “apakah engkau mengenalku? Dia menjawab, “aku tidak mengenalmu!”. Al-Qur’an berkata, “Aku adalah temanmu, Al-Qur’an, yang membuatmu kehausan pada siang hari yang panas dan membuatmu terjaga pada malam hari. Sesungguhnya pedagang itu mengharapkan hasil dagangannya, dan sesungguhnya pada hari ini aku adalah milikmu dari hasil seluruh perdaganganmu, lalu dia memberikan hak milik orang itu Al-Qur’an dengan tangan kanan dan memberikan keabadian dengan tangan kirinya, lalu di atas kepalanya disematkan mahkota yang berwibawa, sedangkan Al-Qur’an mengenakan dua pakaian yang tidak kuat disangga oleh dunia. Kedua pakaian ini bertanya, “Karena apa kami engkau kenakan?”. Ada yang menjawab: “Karena peranan Al-Qur’an. Kemudian dikatakan kepada orang itu,”Bacalah sambil naik ketingkatan-tingkatan syurga dan biliknya, maka dia naik sesuai dengan apa yang dibacanya, baik baca dengan cepat, maupun dengan tartil.” (HR Ahmad). Mutiara Hadis Dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat, sebagai pembela pada orang yang mempelajari dan mentaatinya.” (HR Muslim). Dari Utsman bin Affan ra, katanya: Rasulullah Saw bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari) Dari Ibnu Mas’ud ra, katanya: Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi, katanya: hadits hasan shahih).

Tiga komponen dasar hukum dalam Al-Qur’an

Tahukah Anda, tiga komponen dasar hukum dalam Al-Qur’an? 1.Hukum I’tiqodiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia dengan Allah Swt. dan hal-hal yang berkaitan dengan aqidah atau keimanan. Hukum ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid, Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam. 2.Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia dengan Allah Swt. antara manusia dengan manusia, serta manusia dengan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam rukun Islam dan disebut hukum syara atau syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih. 3.Hukum Khuluqiah, yakni yang berkaitan dengan perilaku moral manusia dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosoial. Hukum ini tercermin dalam konsep ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Akhlaq atau Tasawuf. Khusus hukum syara, dapatdibagi atas dua kelompok yakni: a.Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. misalnya slat, puasa, zakat, haji, dan qurban. b.Hukum Muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut: • Hukum munakahat atau pernikahan • Hukum faraid atau waris • Hukum jinayat atau pidana • Hukum hudud atau hukuman • Hukum jual-beli dan perjanjian • Hukum al khilafah atau tata negara • Hukum makanan dan penyembelihan • Hukum aqdhiyah atau pengadilan • Hukum jihad atau peperangan • Hukum dualiyah atau antar bangsa

SUMBER HUKUM ISLAM (AL-QUR'AN)

A. Pengertian Sumber Hukum Islam Sumber hukum Islam adalah sesuatu yang menjadi pangkal, pusat, sentral, dan pokok dari ajaran islam yang bersifat dinamis, benar, dan mutlak serta tidak mengalami kemandegan, kefanaan, atau kehancuran. Sumber-sumber hukum islam terbagi menjadi tiga, yaitu al-qur’an, al-hadits dan akal pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad karena pengetahuan dan pengalamannya dengan menggunakan berbagai metode atau cara. B.AL-QUR’AN 1.Pengertian Al-Qur’an Ditinjau dari segi bahasa (etimologi) kata Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti bacaan. Dikatakan Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman : It is for Us to collect it and to promulgate it: But when We have promulgated it, follow thou its recital (as promulgated): Artinya:“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (Al- Qiyamah [75]:17-18). Adapun definisi Al-Qur’an secara istilah (terminologi), menurut sebagian besar ulama Ushul Fiqih, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf; dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas. Dari definisi diatas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-Qur’an, antara lain sebagai berikut: 1.Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. 2.Bahasa Al-Qur’an adalah bahasa Arab Quraisy. Seperti ditunjukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain: Asy-Syu’ara[26]:192-195, Yusuf[12]:2, dan Az-Zumar[39]: 28. 3.Al-Qur’an itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir. 4.Membaca setiap kata dalam Al-Qur’an itu mendapatkan pahala dari Allah SWT. 5.Al-Qur’an dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. 2.Kedudukan Al-Qur’an Al-Qur’an sebagai dasar dan sumber hukum yang pertama dan utama dalam islam, karena didalamnya memuat aturan-aturan, rambu-rambu yang harus diikuti oleh semua orang yang beragama islam, sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman pada Al-Qur’an. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 105 yang berbunyi: We have sent down to thee the Book in truth, that thou mightest judge between men, as guided by Allah: so be not (used) as an advocate by those who betray their trust; Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (Q.S An-Nisa [4]: 105) Berdasarkan terjemahan Departemen Agama RI. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf. Berdasarkan turunnya, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi menjadi dua yaitu ayat Makiyah dan ayat Madaniyah. Ayat Makiyah, pada umumnya berisi soal-soal kepercayaan, misalnya ketuhanan, hubungan manusia dengan Tuhan (hablumminallah). Sedangkan ayat Madaniyah, pada umumnya berisi soal-soal mengatur hubungan sesama manusia atau hablumminannas, yang berisi hukum-hukum dan syariat-syariat, akhlak, hubungan manusia dengan hewan, tumbuhan, udara, air, dan sebagainya. 3.Fungsi Al-Qur’an Bila ditelusuri ayat-ayat yang menjelaskan tentang fungsi turunnya Al-Qur’an kepada umat manusia maka jelaslah Al-Qur’an berfungsi: 1. An-nur, yaitu cahaya dari kegelapan. Firman Allah: O mankind! verily there hath come to you a convincing proof from your Lord: For We have sent unto you a light (that is) manifest. Artinya:“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).”(Q.S An-Nisa[4]:174) 2.Al-Huda, artinya petunjuk kejalan yang lurus. Firman Allah: This is the Book; in it is guidance sure, without doubt, to those who fear Allah; Artinya:“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”(Q.S Al-Baqarah[2]:2) 3.As-Syifa, artinya sebagai obat penawar yang dapat menentramkan dan menenangkan batin. Firman Allah: We send down (stage by stage) in the Qur'an that which is a healing and a mercy to those who believe: to the unjust it causes nothing but loss after loss. Artinya:“Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.’’(Q.S Al-Isra[17]:82) 4.Al-Mubin, artinya yang menerangkan. Firman Allah: O people of the Book! There hath come to you our Messenger, revealing to you much that ye used to hide in the Book, and passing over much (that is now unnecessary): There hath come to you from Allah a (new) light and a perspicuous Book, - Artinya:“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.” (Q.S Al-Maidah[5]:15) 5.Al-Bayyinah, artinya penjelasan tentang kebenaran. Firman Allah: Here is a plain statement to men, a guidance and instruction to those who fear Allah! Artinya:“(Al Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al-Imran[3]:138) 6.Al-Hakim, artinya sumber kebijaksanaan. Allah Swt. berfirman: These are Verses of the Wise Book,- Artinya:“Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung hikmah.”(Q.S Luqman[31]:2) 7.At-Tafsil, artinya yang member penjelasan secara rinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan kehendak Allah Swt. Allah Swt. berfirman: And We have explained to man, in this Qur'an, every kind of similitude: yet the greater part of men refuse (to receive it) except with ingratitude! Artinya:“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Qur'an ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya).( Q.S Al-Isra[17]:89) 8.Rahmat, artinya keberuntungan yang diberikan oleh Allah kepada manusia berupa kasih sayang-Nya. Allah Swt. berfirman: These are Verses of the Wise Book,- A Guide and a Mercy to the Doers of Good,- Artinya: “Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”(Q.S Luqman[31]:2-3) 9.Mauizhah, artinya pengajaran yang akan membimbing manusia dalam kehidupannya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah Swt. berfirman: O mankind! there hath come to you a direction from your Lord and a healing for the (diseases) in your hearts,- and for those who believe, a guidance and a Mercy. Artinya:”Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S Yunus[10]:57) 10.Busyra, artinya berita gembira bagi orang-orang yang berbuat baik. Allah Swt. berfirman: These are verses of the Qur'an,-a book that makes (things) clear; A guide: and glad tidings for the believers,- Artinya:”Thaa Siin (Surat) ini adalah ayat-ayat Al Qur'an, dan (ayat-ayat) Kitab yang menjelaskan, untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman.”(Q.S An-Naml[27]:1-2)